Mariya dan Arwah Lelakinya

0 Komentar
Mariya dan Arwah Lelakinya

(Ilustrasi tulisan: Pixabay)

Seorang diri ia terpekur di tepi sungai. Membiarkan kakinya tergerai riak air serta ikan-ikan kecil yang selalu mengerubunginya. Entah berapa lama ia di sana, tapi yang jelas, sejak peristiwa malam itu, saat membuka mata ia sudah mendapati dirinya seperti seorang hantu. Berteduh di bawah rindang pohon gayam dengan rupa muram.

Kadang penuh harap lelaki itu menatap jembatan merah. Meski jembatan itu selalu lengang tak membuat ia putus asa untuk melihatnya. Lama menunggu, ia gelisah. Gemericik air yang membentur batu-batu seperti mengejek penantiannya yang kelabu. Tak satu pun orang melintas di sana, apalagi Mariya datang menemuinya.

***

Sejak pertemuan tanpa sengaja itu, gairah kelelakiannya mencuat, sangat ingin ia menikahi Mariya, anak gadis juragan tembakau terkaya di kampung Parse. Seorang diri berbaring di atas lincak, memandang gemerlap bintang di tengah udara yang berembun, ia merasa telah menemukan belahan tulang rusuknya dalam diri anak juragan tembakau itu. Meski hubungannya masih diam-diam, panah arjuna telah membuat ia merana. Ada rindu yang kerap kali menyusup membentang di dadanya yang bidang.

“Tak baik malam-malam seperti ini melamun, ada apa, Nak?” Ucap perempuan tua itu. Lembut tangannya meraih jemari anaknya yang dingin.

Rembulan terlepas dari dekapan awan ketika lelaki itu menjajari ibunya. Ada letupan kesah pada cintanya yang bisu. Tak mungkin selamanya rasa itu ia pendam seorang diri, butuh ruang untuk menuangkannya, sebuah hati yang bersedia berikrar untuk saling melengkapi. Dan hal itu, katanya, hanya ada dalam lingkar suci tali pernikahan. Mengingat itu kerap keraguan menyergap untuk melangkah ke sana.

“Ibu, apa saya sudah pantas menikah?” tanya pemuda itu. Ia menelan ludah, pekat rasanya kata-kata itu keluar dari mulutnya.

Batuk mengguncang dada ringkih perempuan itu. Kunang-kunang berkelebat mengitari pelataran rumah. Dalam diam lelaki itu mencari jawaban dari sang ibu.

“Kamu memang sudah pantas menikah. Hanya saja…” dadanya kembali berguncang. Terpaksa perempuan itu mengehentikan kata-katanya. Bibirnya bergetar melihat mata anaknya yang berkaca-kaca. Ada mendung yang hendak pecah, tapi ia berhasil menahannya.

“Hanya apa, Bu?” tanya lelaki itu tergeragap. Dia masih menerka kata apa yang selalu mengganjal dalam hati ibunya setiap kali ia mengutarakan untuk menikah.

Perempuan tua itu mengerti perasaan anak semata wayangnya. Telah banyak teman sebayanya menikah dan memiliki anak. Hanya tinggal anaknya seorang. Ada alasan mengapa ia selalu melarang. Cukup ia yang tahu, bagaimana sulitnya bercengkrama dalam tangkai pernikahan yang penuh pengorbanan, yang menyebabkan suaminya meregang nyawa di tengah samudera.

Kecemasan itu seringkali tumbuh dalam lembaran kebimbangan, menghadapi kewajibannya sebagai orang tua untuk menikahkan anaknya. Ia tak punya apa-apa, bersyukur bila sehari bisa makan. Jika anak lelakinya menikah tentu akan menambah kewajiban nafkah. Sementara anak lelakinya tak punya keahlian, hanya pekerja serabutan.
Lama berdiam, perempuan itu kembali berujar,

“Kita orang miskin. Untuk hidup sehari-hari masih terlunta-lunta. Mau dikasih makan apa anak orang? Sedang kamu tak punya pekerjaan tetap.” Jawabnya datar. Tak menekan, tapi sedikit menggores di dada anaknya.

Angin terlelap di balik pohon siwalan. Di samping rumah serupa gubuk itu tak terdengar lagi bunyi jangkrik yang berkrik-krik. Dadanya terasa sesak menahan derita hidup. Ia merasa telah terlempar bukan saja dari hidup yang malang, tapi juga dalam asmara yang perlahan membuat ia tenggelam. Dan itu adalah kenyataan paling pahit.

“Aku bisa memancing dan sewaktu-waktu aku juga bisa mengangkut tembakau orang ke tengkulak.” Ujarnya berusaha meyakinkan.

Rembulan telah bergeser dari peraduannya. Malam yang dingin membuat embun menyesaki rumput di halaman. Percakapan kecil itu menanggalkan perdebatan. Tak mungkin ia terus-menerus larut dalam kesendirian. Ia butuh sosok penyemangat selain sosok seorang ibu. Angin berdesir menembus anyaman dinding bambu. Perempuan tua itu menangisi kewajibannya sebagai orang tua.

***

Surat keenam telah ia kirim. Namun, sampai detik ini masih belum ada balasan. Sungguh aneh, biasanya setelah tiga hari surat itu dikirim, Mariya menghanyutkan surat balasan dari hulu. Namun, hingga kini tak kunjung tiba botol pembawa surat itu mengambang dari sana.

Berkali-kali lelaki itu mengirim surat. Meski tak kunjung mendapat balasan tak membuat ia melipat cintanya. Hari-hari berlalu, lelaki itu masih terkatung dalam penantian yang tak kunjung mendapat jawaban. Hingga pada suatu ketika, saat senja tertangkup belahan bukit di hulu sungai, ia mendapati sepucuk surat tersendat di dekat bantaran.

Benar saja, surat itu dari Mariya. Penuh hati-hati lelaki itu membukanya. Surat yang sangat indah, dari kekasih bayangan anak juragan tembakau. Tak sedikitpun ia melewati setiap kata dalam surat itu, tentang kesah kekasihnya juga ia temukan dalam lembaran itu. Barulah pada paragraf ketiga ia mengerti mengapa Mariya tak kunjung membalas surat-suratnya. Ia paham perbedaan kasta membuat cintanya tersekat orang tua Mariya.

‘Sudahlah, jangan pernah kau kirimi aku surat lagi.
Ayah ibuku bisa murka kalau tahu hubungan kita.
Surat ini aku kirim sebagai permintaan maaf,
sebab aku akan dijodohkan dengan anak juragan tembakau teman ayah.
sekali lagi aku minta maaf, aku tak bisa
menjaga hati ini untukmu’.

Tertanda: Belahan Jiwamu.

Seorang diri ia menangisi cintanya. Harum semerbak bunga cinta yang baru tumbuh kini perlahan layu. Kenyataan membuat ia sadar bahwa yang pantas menikahi Mariya hanya dari kalangan orang kaya. Sangat mustahil lelaki kampung sepertinya mendapat restu dari ayah ibu Mariya. Hanya saja, keyakinan selalu berdetak, bahwa perjuangan akan mengubah segalanya. Itulah sebabnya mengapa sampai detik ini cintanya tak pernah padam.

***

Cukup sepi ketika pemuda itu melempar kerikil ke jendela Mariya. Lampu kamarnya telah padam. Pelan-pelan Mariya membukanya. Di samping rumah ia mendapati seorang lelaki tengah berusaha melompat pagar. Ia tak menyangka jika lelaki itu sampai berbuat nekad demikian.

“Maukah kau menikah denganku?” Ucap lelaki itu lirih.

“Apa maksudmu?” tanyanya keheranan.

“Apa kau tak mencintaiku lagi?”
Berkaca-kaca mata Mariya. Ada sesuatu yang hendak pecah dari kelopak matanya.

“Ayolah pergi bersamaku. Di sana kita bisa memulai kehidupan baru.” Sambungnya setelah memastikan tak ada orang yang mendengar.

“Tidak. Aku tak mungkin meninggalkan orang tuaku, apalagi ibuku sedang sakit.” sergahnya.

“Sewaktu-waktu kita bisa menjenguknya, yang penting kita bisa pergi dulu.” Lelaki itu berusaha meyakinkan bahwa cintanya sungguh-sungguh.

Mariya menjauh dari jendela, menghindar dari angin malam yang semakin dingin. Ia masih melihat bayangan leleki itu dari balik kelambu. Pelan ia kembali berujar, “Tidak. Cepatlah pergi, jika ketahuan ayah kau bisa mati sia-sia.” Pintanya penuh harap.

“Tak ada yang sia-sia dalam perjuangan ini. Apa kau ragu terhadap ketulusanku?”

Mariya tercengang mendengar ketegasan lelaki itu. Keduanya sama-sama terdiam. Terlebih lelaki itu yang gagal membawa pergi kekasihnya. Ada luka yang mulai mengucur darah. Betapa malangnya ia. Apa memang ini suratan takdir? Tidakkah Tuhan menakdirkan sesuatu yang baik untuknya? Kelelawar bercericit membelah kesunyian. Lekas tangannya mengusap pipinya yang lembab.

“Apa masih ada cinta untukku dalam hatimu?” lelaki itu kembali bertanya. Berusaha mengumpulkan serpihan harapannya kembali.

“Pulanglah, ada yang lebih berharga selain mengorbankan diri untukku.”

Percakapan mereka disaksikan remang sinar rembulan yang hampir purnama. Wajah lelaki itu kusut, harapannya sirna. Dengan berat hati ia kembali mengendap-endap keluar dari pekarangan rumah Mariya. Mariya kembali menutup jendela, berbaring di atas ranjang dipan bersama selendang pemberian lelaki itu. Rembulan terselip arak-arak awan menemani langkah pemuda itu yang hancur.

***

Sejak pertemuan malam itu Mariya tak pernah mendengar kabar kekasihnya. Pertemuan singkat itu membekas luka dan rindu di dadanya. Jika ia tahu akan seperti ini, ia tak akan pernah membalas cinta lelaki itu. Biarlah cintanya tak terbalas, daripada ia harus merelakan kepergiannya selamanya.

“Mariya… Akhirnya kau datang.” Bergegas lelaki itu menghampiri Mariya di atas jembatan.

“Apa kabarmu, Mariya? Maukah mau menikah denganku?” Lelaki itu menjajari Mariya yang menatap tebing sungai. Ada keteduhan yang diam-diam menyelinap dalam dadanya.

“Jangan menangis lagi, Mariya. Aku di sisimu.”

Membisu, tak satu kata pun keluar dari mulut Mariya. Gadis itu semakin isak dalam tangisnya.

Perlahan ia meninggalkan jembatan merah. Langkahnya penuh kebimbangan menapaki jalan setapak yang kerontang. Hatinya semakin pilu memeram rindu yang semakin jadi. Di tepi jalan, dekat pohon randu, Mariya menghampiri sebuah makam yang masih basah. Kecupan bibirnya jatuh di nisan kekasihnya.

“Tenanglah kau di sana, Ilham.”

Sungguh malang nasib lelaki itu. Ia terpaksa mati di tangan ayah Mariya. Dadanya berlubang akibat lesatan timah panas malam itu. Jasadnya mengambang di tepi sungai setelah tiga hari dikabarkan menghilang.

“Apa aku arwah gentayangan?”

Laki itu perlahan merasakan dingin. Tubuhnya terasa ringan menuju angkasa. Dalam jauh ia pun melihat ibunya terisak kehilangan. Bunga-bunga ditabur di atas pusara. Sebotol air yang dirapal mantra disiramnya. Sesaat mereka berdoa. (*)

Helmy Khan lahir di Sumenep. Suka menulis puisi dan cerpen. Beberapa karyanya telah terbit di media cetak atau online.

Tulisan ini berasal dari redaksi

Comment