Sapeken, Pulau dengan Aturan Adat yang Berlaku untuk Semua

0 Komentar
Reporter : Panji Agira
FOTO: Kepala Desa Sapeken, Kecamatan Sapeken, Kabupaten Sumenep, Joni Junaidi. (Ist/wartazone.com)

FOTO: Kepala Desa Sapeken, Kecamatan Sapeken, Kabupaten Sumenep, Joni Junaidi. (Ist/wartazone.com)

SUMENEP (WARTA ZONE) – Kasus dugaan penganiayaan yang melibatkan Kepala Desa Sapeken, Kecamatan Sapeken, Kabupaten Sumenep, Joni Junaidi, terhadap warganya, Nadia (21), membuka perbincangan lebih luas tentang peraturan adat yang berlaku di pulau setempat. Peraturan itu dikenal ketat dan berbeda dengan desa-desa lain di Sumenep, bahkan telah dilegalkan melalui Peraturan Desa (Perdes) Nomor 1 Tahun 2015 tentang Keamanan dan Ketertiban Warga.

Joni menegaskan bahwa tindakannya terhadap Nadia bukanlah bentuk kekerasan, melainkan pembinaan agar warga tetap mematuhi norma agama dan adat yang berlaku.

“Sapeken ini bukan desa biasa. Kami punya tanggung jawab menjaga marwah Islam. Kalau ada yang melanggar, tentu kami tegur,” ujarnya kepada wartawan, Kamis (21/8/2025) malam.

Aturan adat di Sapeken lahir dari kesepakatan bersama antara perangkat desa, tokoh agama, dan masyarakat. Dalam Perdes tersebut, perilaku sosial diatur secara rinci untuk menjaga keharmonisan desa.

Beberapa aturan yang diterapkan antara lain larangan hiburan malam seperti dangdutan dan orkes, kewajiban berpakaian sopan terutama bagi perempuan, serta sanksi adat yang cukup tegas bagi mereka yang melanggar norma.

Bagi pasangan muda-mudi yang kedapatan berbuat mesum di tempat terbuka, misalnya, sanksinya bisa berupa rotan sebanyak 25 kali di balai desa. Sementara bagi pasangan yang diketahui tinggal bersama tanpa ikatan pernikahan, hukumannya bisa lebih berat, yakni digunduli, dipakaikan celana pendek, lalu diarak keliling kampung oleh warga.

“Dengan aturan ini, suasana Sapeken tetap kondusif, religius, dan jauh dari hal-hal yang melanggar norma,” kata Joni.

Menurutnya, aturan ini berlaku bukan hanya bagi penduduk asli Sapeken, tetapi juga bagi para pendatang. Perempuan yang tidak berjilbab tetap diharuskan berpakaian sopan sesuai batas kewajaran.

Baca Juga:  Kades Sapeken Sebut Insiden dengan Warganya Bentuk Pembinaan, Polisi Lakukan Proses Hukum

“Kalau dilihat, rata-rata warga di sini berjilbab semua, mulai anak-anak hingga orang tua. Itu sudah menjadi budaya kami. Bahkan Turis asing yang beberapa waktu lalu sempat datang ke Sapeken juga patuh terhadap aturan adat setempat, mereka mengenakan pakaian sopan, itu turis loh, masak warga sendiri melanggar, kita malu lah sama mereka,” imbuhnya.

Kasus Nadia menjadi sorotan karena menyentuh langsung aturan ini. Joni mengaku menegur Nadia setelah mendapati penampilannya yang dinilai tidak sesuai norma, mengenakan pakaian minim dan dibonceng seorang pria yang bukan muhrimnya.

Prilaku tak lazim itu bukan kali pertama terjadi, Joni menceritakan, pada tahun 2024 Nadia sempat pulang dari perantauannya di Bali. Saat itu, ia menerima laporan dari warga bahwa yang bersangkutan terlihat nongkrong di pelabuhan Dinas Perhubungan (Dishub) dengan pakaian minim, rambut pirang, tato di beberapa bagian tubuh, dan rokok di tangan.

“Di Sapeken, pemandangan seperti itu bukan hal lazim. Ada aturan adat yang wajib dipatuhi bersama, baik oleh warga asli maupun pendatang,” kata Joni.

Menurutnya, peristiwa semacam itu sangat jarang terjadi di desanya. Bahkan, sebagian besar warga selalu menjaga penampilan sesuai norma agama dan adat yang sudah diatur dalam Peraturan Desa (Perdes).

“Pada jam yang tidak lazim, tidak pernah ada perempuan berpenampilan terbuka bersama laki-laki yang bukan muhrimnya nongkrong sambil merokok. Karena ada laporan warga, saya bersama perangkat desa mendatangi lokasi dan ternyata yang bersangkutan bernama Nadia,” ujarnya, menceritakan peristiwa yang terjadi setahun lalu.

Baca Juga:  Moral Pendidik Disorot, DPRD Sumenep Minta Sistem Pendidikan Dibedah Total

Usai diamankan ke balai desa dan dilakukan interogasi, Nadia mengaku sudah lama merantau ke Bali dan bekerja di tempat pembuatan tato. Dalam kesempatan itu, ia juga mengaku tidak lagi melaksanakan sholat.

Dari hasil pertemuan tersebut, pemerintah desa membuatkan surat pernyataan yang menyebutkan bahwa Nadia bersedia menaati norma agama dan aturan adat yang berlaku di Sapeken.

“Itu bentuk pembinaan dari saya sebagai kepala desa. Tujuannya menjaga nama baik desa,” jelas Joni.

Setelah pernyataan ditandatangani, penampilan Nadia sempat berubah menjadi lebih tertutup, bahkan pernah mengenakan kerudung. Namun, enam bulan kemudian saat kembali dari perantauan, Nadia dinilai berpenampilan lebih terbuka lagi dan menjadi bahan perbincangan warga. Tak lama setelah itu, ia kembali ke Bali.

“Terakhir peristiwa yang kemarin itu, saya melihat dia lagi di pelabuhan, dibonceng pria yang bukan muhrimnya dengan rok mini yang robek di bagian depan. Saya tegur dengan baik-baik, tapi responnya terkesan tidak menghargai,” ungkapnya.

Menurut Joni, saat ditegur, jawaban Nadia membuatnya kecewa karena dinilai tidak sopan. Ia mengaku hanya menepis secara refleks, tanpa niat melakukan penganiayaan seperti yang dituduhkan.

“Saya kepala desa, dia warga saya. Tidak mungkin saya aniaya. Tujuan saya membina, mendidik. Kalau sampai proses hukum, itu hak dia,” tegasnya.

Tokoh agama Sapeken, KH AD Dailamy Abuhurairah, disebut mendukung langkah pemerintah desa dalam menjaga aturan adat. Ia menekankan pentingnya menjalankan program “Sapeken Bersatu” dan “Sapeken Ibadah” yang menjadi landasan pembinaan moral di desa tersebut. Joni mengaku mendapat arahan langsung dari tokoh agama itu agar aturan adat tetap ditegakkan.

Baca Juga:  Dinilai Belum Jelas Outputnya, DPRD Sumenep Tunda Anggaran Wirausaha Santri

Teguran itu, menurutnya, disampaikan dalam batas kewajaran. Namun, Nadia mengaku mengalami perlakuan kasar dan melaporkan insiden tersebut ke Polsek Sapeken. “Beliau bertanya kapan saya datang, lalu pipi saya ditempeleng. Makanya saya lapor polisi,” kata Nadia kepada wartawan.

Kapolsek Sapeken, AKP Taufik, memastikan laporan tersebut sedang diselidiki sesuai prosedur hukum yang berlaku. “Saat ini masih kami proses sesuai prosedur hukum yang berlaku,” tegasnya.

Untuk diketahui, keberadaan aturan adat Sapeken menjadi pembeda utama dengan desa-desa lain di Sumenep. Di wilayah pesisir maupun daratan, penegakan norma sosial biasanya dilakukan melalui nasihat tokoh agama atau pendekatan persuasif tanpa sanksi adat yang keras. Sapeken, sebaliknya, menjalankan hukum adat secara ketat demi menjaga identitas budaya dan nilai religius masyarakatnya.

Namun, tantangan modernisasi menjadi persoalan tersendiri. Generasi muda yang banyak merantau ke kota besar maupun luar pulau membawa pengaruh gaya hidup yang tidak selalu sejalan dengan norma adat setempat.

Kasus Nadia menjadi ujian nyata bagi sistem adat di Sapeken. Di tengah sorotan publik, masyarakat Sapeken berharap aturan adat yang telah dijaga sejak lama tetap menjadi benteng identitas budaya, sekaligus dapat disesuaikan dengan tuntutan zaman agar tidak menimbulkan konflik hukum di masa depan. (*)

Tulisan ini berasal dari redaksi

Comment