Madura Ethnic Carnival (MEC) bukan sekadar karnaval. Ia adalah ruang perayaan budaya, kreativitas, dan identitas Madura terutama Sumenep yang dibangun lewat proses panjang, kolaboratif, dan penuh semangat dari akar rumput. Di balik megahnya panggung malam dan semaraknya kostum-kostum etnik yang melintasi runway, ada kisah perjuangan panjang yang dimulai dari sebuah inisiatif sederhana oleh Komunitas Jurnalis Sumenep (KJS) pada tahun 2017.
Awal Mula:
Jalan Sehat Busana Unik 2017
Segalanya dimulai dari satu ide sederhana namun brilian: menggabungkan olahraga dan budaya dalam satu kegiatan publik. Maka pada tahun 2017, KJS menggelar “Jalan Sehat Busana Unik”, kegiatan yang menghadirkan para peserta kebanyakan pelajar berjalan santai sambil mengenakan kostum-kostum unik berbahan dasar daun siwalan dan serabut kelapa.
Start dari depan Masjid Jamik Sumenep, iring-iringan peserta berakhir di Perempatan Kampung Baru, disaksikan ribuan warga yang takjub menyaksikan kreativitas yang belum pernah mereka lihat sebelumnya. Walau sederhana, kegiatan ini memantik sesuatu yang jauh lebih besar: gairah untuk berkarya dari para kreator kostum lokal, yang selama ini tersembunyi di pelosok-pelosok desa dan kecamatan di Sumenep.
Puluhan kreasi kostum lahir dari tangan-tangan kreatif lokal, dengan berbagai gaya dan bentuk. Hadiah utama berupa sepeda motor bukanlah daya tarik utama yang lebih penting, para kreator kini punya ruang untuk tampil dan diakui.
Pelangi di Sumenep:
Merayakan Keberagaman (2018)
Melihat respons positif dari masyarakat, KJS melanjutkan semangat tersebut dengan kegiatan yang lebih besar dan bermakna. Pada tahun 2018, digelarlah “Pelangi di Sumenep”, sebuah panggung budaya yang menghadirkan representasi keberagaman suku dan adat di Kabupaten Sumenep.
Berlokasi di Lapangan Kesenian Gotong Royong, acara ini menampilkan tradisi dari Suku Madura, Jawa, Bajo, Bugis, Arab, dan Tionghoa. Penampilan Silat Bajo, Musik Saronen, Gambus, hingga Barongsai menjadi bukti nyata bahwa Sumenep adalah rumah bagi banyak budaya yang hidup berdampingan.
Bagi para peserta, ini bukan sekadar tampil. Ini adalah momen kebanggaan, saat identitas mereka diakui di ruang publik. Bagi KJS, ini adalah langkah lanjutan menuju mimpi yang lebih besar: menjadikan Sumenep sebagai pusat ekspresi budaya Madura.
Vakum karena Pandemi
Sayangnya, pandemi COVID-19 yang melanda dunia sejak 2020 membuat kegiatan budaya harus terhenti sementara. KJS, seperti banyak komunitas lainnya, harus menghentikan aktivitas publik selama hampir tiga tahun. Namun semangat mereka tak padam.
Kembali Bangkit Lewat Pelangi di Sumenep Jilid II (2022)
Tahun 2022 menjadi titik balik. KJS kembali dengan “Pelangi di Sumenep Jilid II”, namun kali ini dengan konsep yang lebih matang dan variatif. Tiga kegiatan utama digelar secara bersamaan:
1. Festival Busana Etnik
2. Festival Kuliner
3. Lomba Fotografi
Dalam festival busana, para kreator kembali menunjukkan tajinya. Kostum-kostum bertema ikon budaya Sumenep seperti Masjid Jamik, Labang Mesem, Keraton, dan Kuda Terbang mewarnai panggung dengan visual yang kuat dan penuh makna.
Sementara itu, Festival Kuliner menampilkan inovasi dari masakan khas seperti Campor dan Mento, yang dikreasi ulang oleh ibu-ibu PKK Bhayangkari dan Persit KCK. Lomba fotografi mengabadikan semua momen tersebut sebagai bagian dari dokumentasi perjalanan budaya.
Studi Banding dan Lahirnya Gagasan Besar
Setelah berbagai kegiatan itu, KJS mulai intens melakukan studi penyelenggaraan event ke kota-kota lain yang telah lebih dulu sukses dengan event karnaval: Malang, Batu, Surabaya, Jember, hingga Banyuwangi. Mereka belajar dari Jember Fashion Carnival (JFC), Malang Flower Carnival (MFC), dan Banyuwangi Ethno Carnival (BEC).
Namun, satu hal yang mereka temukan: belum ada event karnaval kostum berbasis budaya Madura di tanah Madura sendiri. Kreator dari Madura sering harus tampil di luar daerah untuk mendapatkan ruang. Dari sinilah lahir gagasan untuk membuat event yang benar-benar mencerminkan kekayaan budaya lokal Madura: Madura Ethnic Carnival (MEC).
MEC 2023:
Karnaval Budaya di Tanah Sendiri
MEC pertama kali digelar pada September 2023, mengusung tema “Kerapan Sapi”, ikon budaya Madura yang sudah mendunia. Sebanyak 70-an peserta ikut serta, menghadirkan kostum spektakuler yang terinspirasi dari kekuatan dan dinamika balapan tradisional tersebut.
Bagi para kreator lokal, ini adalah momen bersejarah. Setelah bertahun-tahun hanya bisa tampil di luar Madura, kini mereka punya panggung sendiri di tanah kelahiran.
MEC 2023 bukan hanya festival budaya, tapi juga simbol kebangkitan dan kemandirian ekspresi budaya Madura. Ini adalah deklarasi bahwa Madura, khususnya Sumenep, mampu membuat event karnaval yang tak kalah dengan kota-kota besar lainnya.
MEC 2024:
Keris, Identitas yang Menyatu
Tahun berikutnya, MEC 2024 hadir dengan tema “Keris”, senjata tradisional yang penuh filosofi dan erat kaitannya dengan sejarah Sumenep. Pada edisi kedua ini, peserta MEC semakin beragam, tak hanya dari Madura tetapi juga dari luar daerah: Surabaya, Malang, Jember, Bondowoso, dan lainnya.
Kreativitas dan inovasi kostum terus meningkat. Kostum tak hanya menjadi pakaian pertunjukan, tapi juga medium edukasi dan ekspresi artistik. Para kreator mulai mengolah narasi-narasi sejarah ke dalam bentuk visual yang kompleks dan menawan.
MEC 2024 menjadi ajang validasi bahwa MEC bukan event sesaat, tapi telah menjadi agenda budaya yang ditunggu-tunggu setiap tahunnya.
MEC 2025:
Topeng dan Identitas Budaya
Memasuki tahun ketiga, MEC 2025 mengangkat tema “Topeng”, simbol dualitas dan ekspresi jiwa manusia dalam budaya Madura dan Nusantara. Digelar pada malam Minggu, 20 September 2025, MEC 2025 mencatatkan rekor peserta terbanyak: 103 peserta dari kategori pelajar, umum, hingga grand show.
Ada hal-hal yang membuat MEC unik dan berbeda dari karnaval lain:
1. Diselenggarakan malam hari, menciptakan suasana magis dan nuansa artistik khas Madura.
2. Iringan musik Tong-Tong mengiringi peserta di sepanjang lintasan, memberikan energi khas yang tidak ditemukan di event lain.
3. Panggung utama selalu tematik, dihiasi ornamen dan dekorasi sesuai tema tahunan.
4. Lagu jinggel khusus diciptakan setiap tahun untuk memperkuat branding dan atmosfer acara.
5. Kostum wajib mengandung 20% bahan dari daun siwalan, sebagai bentuk pelestarian bahan lokal dan dukungan terhadap UMKM.
Daun Siwalan:
Identitas dan Pemberdayaan
Penggunaan daun siwalan bukan hanya untuk estetika, tapi sebagai simbol identitas lokal dan upaya pemberdayaan ekonomi masyarakat. Saat ini, daun siwalan dari Sumenep sudah banyak tersedia di marketplace dan menjadi komoditas kreatif yang unik.
Dengan begitu, MEC tidak hanya menjadi ajang budaya, tapi juga mendorong perputaran ekonomi dari sektor kreatif, kuliner, hingga kerajinan tangan.
Dari Sumenep untuk Indonesia, dari Madura untuk Dunia
MEC adalah bukti bahwa sebuah event besar bisa lahir dari komunitas kecil yang punya semangat besar. Dari kegiatan jalan sehat sederhana hingga menjadi karnaval budaya berskala nasional, perjalanan MEC menunjukkan bahwa budaya lokal bisa menjadi panggung global, selama ada ruang, niat, dan kerja kolaboratif.
Komunitas Jurnalis Sumenep (KJS) telah membuktikan bahwa jurnalis bukan hanya pencatat peristiwa, tetapi juga penggerak perubahan sosial dan budaya. Dan MEC adalah karya nyata dari perjuangan itu.
Madura Ethnic Carnival kini menjadi ikon budaya tahunan, menegaskan bahwa bulan September adalah bulan karnaval di Madura. Dari Sumenep, gema budaya Madura terus bergema bukan hanya untuk ditonton, tetapi juga untuk dikenang, dihargai, dan diwariskan. (*)
Comment