Gelombang Protes Tiga Dekade KEI Keruk Kekayaan Alam Kangean

0 Komentar
Reporter : Panji Agira
FOTO: Migas di Sumenep terus dikeruk. Rakyat mulai resah bersuara. (Istimewa)

FOTO: Migas di Sumenep terus dikeruk. Rakyat mulai resah bersuara. (Istimewa)

SUMENEP, (WARTA ZONE) – Tiga puluh tahun lalu, suara gemuruh pengeboran mulai mengguncang Pulau Pagerungan Besar, Kecamatan Sapeken, Kabupaten Sumenep, Madura. Kala itu, harapan tumbuh setinggi anjungan bor. Blok migas yang kini dikelola PT Kangean Energi Indonesia (KEI) Ltd menjadi magnet investasi energi nasional. Namun, setelah puluhan tahun eksploitasi berjalan, masyarakat hanya bisa bertanya: “Kami dapat apa?”

Kekayaan migas mengalir deras ke kas negara dan perusahaan. Energi dari perut bumi Madura Timur diangkut keluar pulau. Namun di Pagerungan Besar dan pulau-pulau sekitarnya, kondisi kehidupan masih jauh dari sejahtera. Infrastruktur dasar seperti jalan, listrik, dan air bersih belum sepenuhnya terpenuhi. Sekolah rusak, pelayanan kesehatan terbatas, dan konektivitas laut bergantung cuaca.

Sementara itu, angka produksi migas menurun drastis. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM, pada 2020, produksi Blok Pagerungan hanya mencapai 68 barel minyak per hari (BOPD). Setahun kemudian turun menjadi 64 BOPD, dan pada 2022 tinggal 55 BOPD. Blok yang dahulu disebut ladang emas kini memasuki fase penurunan (decline).

Masyarakat Menonton, Korporasi Mengangkut

Ketimpangan ini menelanjangi kenyataan pahit: sumber daya dikuras, namun masyarakat sekitar nyaris tak menikmati hasilnya. “Kami sudah 30 tahun cuma jadi penonton. Yang kaya Jakarta, yang rusak kami,” kata Rahman Fauzan, Ketua Masyarakat Urban Kangean – Bali, saat dihubungi pada Rabu, 25 Juni 2025.

Fauzan menilai pengelolaan migas di Kangean hanya meninggalkan jejak eksploitasi tanpa kompensasi memadai. Ia menyebut warga menolak rencana eksplorasi baru, termasuk survei seismik dan pengembangan Blok Terang Sirasun Batur (TSB) — proyek lanjutan KEI yang masih berada di sekitar Madura Timur.

Setidaknya ada tiga alasan utama penolakan warga. Pertama, risiko pencemaran laut yang mengancam ekosistem. Kedua, potensi hilangnya mata pencaharian nelayan. Ketiga, pengabaian hak-hak masyarakat lokal yang bertentangan dengan prinsip keadilan ekologis lintas generasi.

Baca Juga:  Mobil Online Kependudukan, Cara Pemkab Sumenep Dekatkan Pelayanan

“Pengalaman masa lalu jadi pelajaran. Kami tak ingin kerusakan lebih besar terjadi hanya karena janji-janji industri migas yang tak pernah ditepati,” tegasnya.

Tambang vs Pulau Kecil: Konflik yang Tak Kunjung Usai

Menurut Fauzan, aktivitas tambang di pulau kecil seharusnya tidak dibenarkan secara hukum. Ia merujuk UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Dalam Pasal 23 ayat (2), disebutkan bahwa pemanfaatan pulau kecil diutamakan untuk konservasi, pendidikan, budidaya laut, perikanan, pariwisata, pertahanan negara, bukan pertambangan.

“Pasal 35 huruf (j) juga menegaskan larangan aktivitas tambang yang secara langsung atau tidak langsung merusak lingkungan dan merugikan masyarakat sekitar,” ujarnya.

Pulau Kangean, yang hanya seluas 648,6 kilometer persegi, jelas termasuk dalam kategori pulau kecil sebagaimana didefinisikan dalam undang-undang. Sebagai kawasan pesisir yang rawan dampak ekologis, aktivitas migas di wilayah ini dinilai sangat berisiko.

Ketentuan Hukum Diperkuat Putusan MK

Fauzan menambahkan, seluruh kegiatan eksplorasi dan eksploitasi seharusnya tunduk pada proses Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), sebagaimana diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan diperkuat oleh PP Nomor 22 Tahun 2021. Ia menegaskan bahwa kegiatan dengan potensi dampak besar dan penting tidak boleh dimulai tanpa kajian lingkungan menyeluruh.

Penegasan ini diperkuat Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-XXI/2023, yang melarang aktivitas tambang di wilayah pesisir dan pulau kecil demi menjaga keberlanjutan lingkungan dan perlindungan masyarakat lokal.

“Negara punya tanggung jawab konstitusional untuk melindungi pulau-pulau kecil seperti Kangean dari kehancuran ekologis. Jangan sampai kami menjadi Nauru kedua, negara pulau kecil yang hancur akibat tambang fosfat,” ujar Fauzan mengacu pada negara Pasifik yang kini nyaris tak layak huni akibat eksploitasi sumber daya.

Menolak, Sebelum Terlambat

Baca Juga:  Pemkab Sumenep Siapkan Call Center 112 untuk Pengaduan Masyarakat, Berikut Sederet Manfaatnya

Gerakan penolakan terhadap proyek migas ini terus menguat. Masyarakat Urban Kangean – Bali menyuarakan desakan kepada pemerintah untuk segera menghentikan seluruh rencana eksploitasi oleh PT KEI. Mereka menyerukan moratorium total terhadap proyek energi di wilayah pesisir dan pulau kecil.

“Kami menolak secara tegas. Tidak boleh ada lagi tambang di pulau-pulau kecil yang hanya menyisakan kerusakan,” tegasnya.

Di tengah sorotan terhadap transisi energi dan penguatan keadilan ekologis, kisah Kangean menjadi cermin dari ironi besar: sumber daya berlimpah, namun masyarakat tetap tertinggal. Pertanyaannya kini bergema: sampai kapan negara membiarkan energi mengalir keluar tanpa menyisakan harapan di tempat ia berasal?.

Secara terpisah, Manajemen KEI dalam keterangan tertulis kepada sejumlah media menyebut, publikasi di media terhadap gelombang aksi demonstrasi belakangan ini sebagai bentuk provokasi kegiatan Kangean Energy Indonesia Ltd (KEI).

“Terkait adanya publikasi di media online mengenai upaya provokasi kegiatan Kangean Energy Indonesia Ltd (KEI),” terangnya, mengawali siaran pers.

Setidaknya ada delapan poin yang disampaikan, diantaranya, KEI merupakan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang ditunjuk oleh Pemerintah Republik Indonesia untuk memenuhi target produksi migas nasional.

“Seluruh kegiatan tersebut dilaksanakan di bawah pengendalian dan pengawasan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) sebagai perwakilan pemerintah, yang berada di bawah koordinasi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM),” sebutnya.

Manajemen KEI juga berlindung di balik peraturan perundang-undangan dengan menyebut seluruh aktivitas operasi KEI dijalankan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, di bawah pengawasan ketat pemerintah dan pemangku kepentingan nasional dan daerah.

Serta dimonitor secara berkala untuk memastikan perlindungan lingkungan, kepatuhan terhadap peraturan, keamanan, dan keberlanjutan operasi. Sesuai Pasal 23 UU PWP3K, kegiatan migas diperbolehkan di wilayah pulau kecil selama tidak berada di zona konservasi dan telah memiliki izin lokasi, serta izin pengelolaan yang sah.

Baca Juga:  Mudik Gratis Jakarta - Sumenep Dapat Sambutan Luar Biasa

KEI mengkalim sudah mendapatkan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL), yaitu izin yang memastikan kesesuaian antara rencana kegiatan pemanfaatan ruang laut dengan Rencana Tata Ruang (RTR) dan/atau Rencana Zonasi (RZ) yang ada.

“KKPRL merupakan persyaratan dasar untuk perizinan berusaha dan non-berusaha terkait pemanfaatan ruang laut, baik di perairan pesisir maupun wilayah yurisdiksi,” imbuhnya.

KEI mengaku telah menjalankan sistem manajemen lingkungan dan sejak tahun 2001 telah menerima sertifikat ISO 14001 (Standar Manajemen Lingkungan), dan masih dapat dipertahankan hingga saat ini.

“Kami juga secara konsisten melaksanakan monitoring lingkungan dengan melibatkan instansi terkait dan perguruan tinggi yang kredibel di bidangnya,” terangnya.

Selain itu, KEI dengan bangga menyebut bahwa Program Pengembangan Masyarakat (PPM) telah dijalankan dengan melibatkan masyarakat dan semua pihak terkait sehingga diharapkan ada sinergitas program pembedayaan masyarakat dengan pemerintah serta masyarakat dan stakeholder lainnya.

“Kami sangat menyesalkan adanya pemberitaan-pemberitaan yang tidak sesuai dengan fakta-fakta yang ada, seperti pemberitaan terkait kegiatan operasi kami di Pagerungan Besar yang tidak membawa manfaat, merusak lingkungan dan ekologi. Kami tegaskan kembali, isu-isu yang disampaikan sangat tidak sesuai fakta di lapangan dan merupakan fitnah,” sebutnya.

Diakhir siaran persnya, Manajemen KEI mempersilakan untuk mengambil langkah hukum jika ditemukan adanya pelanggaran.

“Kami memahami pandangan semua pihak dan terbuka untuk berdialog dan berdiskusi dengan pihak atau instansi terkait dan juga mendukung upaya-upaya proses hukum jika ditemukan adanya pelanggaran,” tukasnya. (*)

Tulisan ini berasal dari redaksi

Comment