JEMBER, (WARTA ZONE) – Dengan memanfaatkan barang-barang dan oli bekas, sejumlah relawan bencana di Jember menciptakan alat masak alternatif Kompor Oli Bekas.
Dengan kompor oli bekas ini, diyakini sangat bermanfaat sebagai alat masak alternatif saat menangani dampak bencana.
Terlebih saat kesulitan mencari atau kehabisan tabung gas, ketika menyiapkan makanan bagi korban terdampak bencana.
“Jadi konsep kompor ini, adalah memanfaatkan oli bekas untuk digunakan sebagai alat masak alternatif. Kita kan tahu limbah dari oli bekas ini banyak kita dapatkan. Jadi oleh teman-teman relawan mempunyai ide membuat kompor dari oli bekas ini,” kata Inisiator Kompor Oli Bekas Sugiyanto saat dikonfirmasi sejumlah wartawan, Sabtu (30/9/2023).
Dalam membuat kompor oli bekas itu, kata pria yang akrab disapa Yayan ini, ia mengaku juga dibantu teman-teman relawan lainnya. Baik itu dari unsur Relawan Ben Seromben dan juga relawan yang tergabung di Tagana Dinsos Jember.
“Bahan yang digunakan untuk membuat kompor oli bekas ini, 85 persen itu dari bahan-bahan daur ulang semua. Seperti besinya dari rongsokan, dan juga botol penampung oli. Kecuali kipas dan dimer (alat pengatur kecepatan putaran kipas) itu saya beli. Pengerjaan atau pembuatannya kurang lebih sehari,” ungkapnya.
Diakui juga olehnya, terkait pembuatan kompor oli bekas. Dirinya juga melihat contoh-contoh pembuatan alat masak kompor alternatif di youtube. Tapi dalam prosesnya bisa menciptakan Kompor Oli Bekas, setelah beberapa kali melakukan riset.
“Jadi awalnya itu, kami memanfaatkan oli bekas itu bagaimana saat dibakar. Seberapa lama oli itu terbakar, dan bagaimana efisiensi dari berapa liter oli bekas itu bisa hidup dan menghasilkan kobaran api yang pas. Kami sempat ukur kobarab api dari oli itu, bisa mencapai kurang lebih 400 derajat celcius panasnya,” kata pria lulusan sarjana teknik sipil ini.
Ia menjelaskan, dari oli bekas yang dimanfaatkan menjadi kompor itu. Kobaran api yang dihasilkan awalnya untuk panas yang dihasilkan masih kurang.
“Panasnya kurang, kobarannya kecil dan menciptakan banyak asap. Jadi kami kerja bersama memikirkan bagaimana agar menghasilkan panas yang pas dan kobaran api layaknya kompor gas,” jelas Yayan.
Akhirnya kobaran api dari pembakaran oli bekas itu, lanjutnya menjelaskan, didorong dengan hembusan angin dari kipas dengan kecepatan putaran tertentu. Sehingga kobaran apinya membara, bahkan warna kobaran api tampak berwarna biru.
“Cara kerjanya dari oli bekas itu, kalau di bakar tanpa pendorong dari kipas. Dia akan hitam, dan mengeluarkan asap yang hitam pekat. Dari adanya kipas, kita meminimkan pembakaran. Jadi tidak terbuang. Warnanya (kobaran api) juga menjadi agak biru, asap yang keluar tidak terlalu banyak, dan daya panasnya bisa mencapai 400 derajat Celcius itu,” katanya.
“Kipas itu dayanya 5 watt dengan RPM (ukuran kecepatan putaran kipas) tertentu. Olinya tidak dituang langsung dalam wadah, tapi menetes secara perlahan. Dengan posisi oli kami masukkan dalam botol yang posisinya agak tinggi dari wadah kompor ini. Dari riset kami sementara ini, dengan oli satu liter. Kompor ini bisa hidup kurang lebih 12 jam,” sambungnya menjelaskan.
Menurut Yayan, penggunaan kompor oli bekas ini lebih hemat dari kompor. Karena mudah mendapat bahan oli bekas yang digunakan. Selain itu, katanya, bahan pembuat kompor juga dari barang-barang bekas.
“Tapi kami masih melalukan riset untuk pengembangan. Dari kompor ini, jika untuk memasak nasi. Bisa cukup untuk memenuhi kebutuhan 20 orang. Sedangkan kompor gas pada umumnya yang digunakan untuk penanganan bencana. Kebutuhan nasi kan untuk 100 orang bahkan lebih. Jadi kami masih mengembangkan teknologi ini, jadi lebih bermanfaat. Kami juga masih memproses untuk pengajuan HAKI (Hak Kekayaan Intelektual) nya,” ucap Yayan.
Terkait pemanfaatan dari Kompos Oli Bekas ini, diketahui juga mendapat dukungan dari Tim TRC Tagana dari Dinsos Jember.
Pasalnya, menurut Koordinator Tagana Dinsos Jember Agus Nurwiyono. Teknologi Kompor Oli Bekas ini sangat bermanfaat. Terlebih saat dibutuhkan dalam proses penanganan dampak bencana.
“Yang kami tangkap dari inovasi ini menurut kami hemat, bahan pembuatannya juga mudah didapat di rongsokan. Kami juga di cluster pengungsian, kan biasanya tidak gampang menjangkau untuk mendapatkan Gas LPG. Jadi kalau misal bencana di gunung dan sulit mendapat gas. Jadi menurut kami kompor alternatif ini bisa menjadi solusi. Kami juga tidak mungkin untuk membeli gas melon 3 Kg, itu kan untuk rakyat yang membutuhkan. Kita biasanya pakai yang 12 Kg,” kata pria yang akrab disapa Yoyon ini.
Dibandingkan memasak menggunakan kayu bakar, katanya, memanfaatkan teknologi Kompor Oli Bekas. Dirasa lebih efektif dan efisien.
“Kalaupun ada kayu bakar ya oke juga. Tapi kami juga mempertimbangkan untuk mendapatkan kayu bakarnya ini kan butuh waktu dan mencari juga. Tapi kalau oli bekas, lebih mudah didapat. Jadi ini menurut kami, kompor alternatif yang tepat,” katanya.
Namun demikian, lebih lanjut kata Yoyon, adanya Kompor Oli Bekas diakui masih butuh riset untuk lebih dikembangkan lagi.
“Tentunya agar bisa memenuhi kebutuhan memasak saat di lokasi bencana. Apakah dorongan udaranya, atau tungkunya yang diperbesar. Riset kompor alternatif ini masih terus dikembangkan,” ucapnya.
Yoyon juga menambahkan, adanya teknologi alternatif Kompor Oli Bekas. Juga belum dipikirkan soal pemasarannya secara umum.
“Karena niat kami, saat ini adalah untuk dimanfaatkan sebagai solusi membantu penanganan bencana. Kecuali ada permintaan dari masyarakat, mungkin kami tidak akan menjual. Tapi kami akan bantu membuatkan, tinggal mohon dibantu untuk mencarikan bahan-bahannya untuk membuat kompor oli bekas ini,” ujarnya.
“Kalaupun ada profitnya, akan kita sisihkan untuk kebutuhan teman-teman relawan. Kalau kita kan dari Tagana sudah ada (anggaran) dari pemerintah. Tapi dimungkinkan nanti ada pengurus tersendiri, dari unsur relawan. Untuk pengembangan atau mungkin terkait profit yang nantinya bisa lebih bermanfaat. Apakah itu pengurusan hak paten ataupun HAKI itu. Bahkan saya juga berpikir, bagaimana kalau dikembangkan dan juga ringkes (layak) untuk dimanfaatkan di skala rumah tangga,” tandasnya. (*)
Comment