Terkuak, Pemkab Sumenep Beralasan Tak Tahu Soal ‘Sengketa’ Kepemilikan Tanah di Batuan

0 Komentar
Reporter : Abd. Wakid
SANTAI: Kepala Bagian Hukum Setdakab Sumenep, Hizbul Wathan saat ditemui di kantornya (Foto: Abd Wakid)

SANTAI: Kepala Bagian Hukum Setdakab Sumenep, Hizbul Wathan saat ditemui di kantornya (Foto: Abd Wakid)

SUMENEP, (WARTA ZONE) – Kasus yang menyeret nama Pemerintah Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur dalam ranah hukum atas pembelian tanah seluas 1,6 hektar untuk pembangunan Pasar Tradisional Batuan, kian meruncing.

Pasalnya, pemerintah Kota Sumekar mengaku tidak tahu soal status tanah yang sempat diperkarakan oleh pihak RB Mohammad Zis dan R Soehartono yang tak lain merupakan putra mantan Bupati Sumenep, R. Soemar’oem.

Padahal, berdasarkan penelusuran media ini, tanah yang dibeli oleh pemerintah Kota Keris pada Desember 2018 senilai Rp 8,941 miliar dari RB Mohammad Zis itu telah disengketakan oleh R Soehartono ke Pengadilan Negeri (PN) Sumenep pada tahun 2015 silam. Hasilnya, berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Sumenep Nomor: 01/PDT.G/ 2015/PN.Smp tanggal 4 Juni 2015 disebutkan bahwa tanah tersebut adalah milik R. Soehartono.

Tak hanya itu, tahun sebelumnya perkara ini juga menggelinding ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Surabaya. Hal ini tertuang dalam putusan PTUN Surabaya Nomor: 36/G/2014/PTUN.SBY tanggal 7 Agustus 2014.

Baca Juga:  Sertijab, Bupati Sumenep Sampaikan Lima Misi Utama dalam Mewujudkan Kesejahteraan

Bahkan, legalitas kepemilikan tanah ini juga tertuang dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 238 K/TUN/2015 tanggal 8 Juni 2015. Dan Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya Nomor: 628/PDT/2015/PT SBY tanggal 22 Februari 2016.

“Kalau soal sengketanya kami tidak mengetahui. Karena kami (pemkab,red) bukan para pihak,” terang Kepala Bagian Hukum Setdakab Sumenep, Hizbul Wathan, Rabu (17/2) kemarin.

Meski begitu kata dia, berdasarkan mekanisme pengadaan yang dilakukan oleh Disperindag Sumenep dengan RB Mohammad Zis sudah melalui proses administrasi kepemilikan hak yang sah.

“Hal itu berdasarkan atas bukti kepemilikan tanah dari pihak Pak Zis. Soal hal lain di kemudian, kita tinggal lihat saja nanti bagaimana putusan hakim,” ungkapnya.

Menurut Wathan, pihaknya baru mengetahui soal sengketa lahan itu sewaktu pengerjaan pagar dimulai. Sebab, dari pihak R Soehartono mendatangi lokasi dan juga mengklaim bahwa tanah yang masuk dalam Persil 34 itu adalah miliknya. Sehingga, demi hukum acara perdata, nama RB Mohammad Zis tetap ada, ia disebut sebagai tergugat intervensi.

Baca Juga:  Bangun KIHT, Cara Pemkab Sumenep Permudah Pengusaha Rokok Lokal

“Karena sebenarnya, ini sengketa antara pak Hartono dengan Pak Zis. Jadi, hubungan hukumnya itu dengan Pak Zis. Kemudian di tengah perjalanan ada yang mempersoalkan yaitu Bapak Hartono,” akunya.

“Sehingga Pak Hartono ini bukan ke Pak Zis menggugatnya tapi kepada Pemkab. Karena Pak Zis yang melepaskan peralihan haknya kepada kami. Sehingga berproses lah itu di persidangan PN Sumenep dengan nomor 03/PDT.G/2020/PN.Smp,” imbuh Wathan.

Untuk persidangan berikutnya, lanjut dia, akan berlangsung hari ini, Kamis (18/2) di PN Sumenep dengan agenda keterangan dari pihak penggugat. “Kesaksian penggugat, kemudian setelah itu pembuktian, kesimpulan baru putusan terakhir. Kalau dari kami yang dipanggil pertama itu pada tanggal 6 Februari 2020,” jelasnya.

LENGANG: Pengendara sepeda motor saat melintas di depan lokasi Pasar Batuan (Foto: Abd Wakid)
LENGANG: Pengendara sepeda motor saat melintas di depan lokasi Pasar Batuan (Foto: Abd Wakid)

Dikonfirmasi terpisah, Kuasa Hukum R Soehartono, Kamarullah menyatakan, sejak awal tanah tersebut memang sudah bersengketa. Namun demikian, pihak pemerintah melalui Disperindag tetap ngotot untuk membeli lahan.

Baca Juga:  Raih Juara I Lomba Desa Tingkat Kabupaten, Pemdes Lobuk Wakili Sumenep Berkompetisi di Jawa Timur

“Kesalahannya adalah kenapa Pemda itu membeli tanah yang sudah bersengketa. Membelinya pun kepada pihak yang kalah dalam sengketa itu,” tegasnya.

Sebenarnya, kata dia, Pemkab Sumenep sudah mengetahui persoalan sengketa tanah tersebut. Sebab, lahan seluas 1,6 hektare itu sering dipakai untuk kegiatan pembibitan.

“Lahan itu sering dipakai untuk menanam bibit program antara Pemda dengan legislatif. Nyewanya kepada R. Soehartono. Sekarang ada transaksi pembelian, kok bisa Pemda salah kamar beli tanah,” sesalnya.

“Harusnya duduk bareng, bukan malah bermain sepihak kayak gitu,” imbuhnya.

Untuk itu, pihaknya sangat menyayangkan tindakan pemerintah melalui dinas terkait yang dinilai merugikan R. Soehartono sebagai pemilik lahan yang sah di mata hukum.

“Iya gimana ya, agak semacam negatif thinking-lah pandangan saya pada Pemkab. Makanya, kami terus lanjutkan persoalan ini,” tandasnya. (*)

Tulisan ini berasal dari redaksi

Comment