Jember Peringkat Dua Kasus TBC di Jatim, Puluhan Relawan Diminta Waspada dan Terapkan PHBS

0 Komentar
Reporter : Nur Imatus Safitri

Foto: Penyuluhan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) di ruang pertemuan Letkol Moch. Srodji kantor Bakorwil V Jember jalan kalimantan, Kecamatan Sumbersari, Jember, Minggu (28/5/2023).

JEMBER, (WARTA ZONE) – Sebanyak 85 relawan yang ada di wilayah Kabupaten Jember ikut dalam kegiatan Penyuluhan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) di Ruang Pertemuan Letkol Moch. Srodji Kantor Bakorwil V Jember Jalan Kalimantan, Kecamatan Sumbersari, Jember, Minggu (28/5/2023).

Dalam kegiatan tersebut terungkap, untuk kasus penyebaran penyakit TBC (Tuberkulosis) di wilayah Jember, saat ini menempati peringkat kedua tertinggi di Jawa Timur.

Menurut Ketua Yayasan Laskar (Langkah Sehat dan Berkarya) Jember M. Nur Khamid, data yang diungkapkan itu adalah dari rilis yang disampaikan oleh Dinas Kesehatan (Dinkes) Jember.

Dimana untuk materi yang dibahas itu, ditujukan kepada puluhan relawan di Jember. Karena dinilai menjadi kelompok rentan tertular penyakit TBC.

Pasalnya dengan situasi tidak menerapkan PHBS, meskipun didasari niat sosial dan kemanusiaan. Kelompok relawan dapat tertular penyakit TBC itu.

“Untuk kasus TBC dari data yang kami terima dari Dinas Kesehatan setempat. Indonesia saat ini menempati urutan nomor 3 di dunia, Jawa Timur (Jatim) peringkat 2 nasional, dan Jember menempati peringkat 2 di Jatim untuk angka kasus TBC terbanyak. Nah dari ini, akrab disebut fenomena gunung es,” kata Khamid saat dikonfirmasi sejumlah wartawan, usai menjadi pemateri dalam kegiatan penyuluhan tersebut.

“Maka perlu ada gerakan yang semakin masif, yang terus terang sudah ada pergerakan. Baik dari Puskesmas, LSM, pendamping, bahkan dari Pemerintah setempat. Sehingga untuk menekan angka kasus itu sudah mulai tampak progresnya,” sambung Khamid.

Baca Juga:  Temuan Kasus TBC di Jember Meningkat, Kadinkes: Diperlukan Adanya Sinergitas Terhadap Penanganan

Dari data yang diungkapkan itu, Khamid menjelaskan, pads medio tahun 2022 lalu, terungkap ada sebanyak 4.689 kasus. Diketahui secara rinci, untuk TBC Sensitif obat 4.496 kasus, dan TBC resisten obat 193 kasus.

“Namun demikian, syukur Alhamdulillah pada tahun 2023 ini. Tercatat pada medio bulan Januari – April ada 1.774 kasus, dengan rincian kasus TBC sensitif obat 1.684, dan TBC resisten obat 80 an kasus,” ungkapnya.

Namun demikian, kenapa diadakan acara sosialisasi atau seminar ini. Pria yang juga menjabat sebagai Direktur Eksekutif PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia) Jember itu mengatakan, karena kelompok relawan yang bergerak di wilayah kemanusiaan cukup rentan untuk terdampak kasus TBC ini.

“Bicara soal meminimalisir penyebaran virus TBC itu, maka dirasa perlu untuk menerapkan pola hidup PDBS. Artinya relawan sebagai kelompok atau orang yang rentan terdampak langsung. Harus selalu berhati-hati, dan juga bisa membantu melakukan sosialisasi kepada masyarakat, dalam membantu upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah ataupun dinas kesehatan tentunya. Sehingga fenomena gunung es ini bisa dibongkar,” paparnya.

Dari kasus TBC yang ada, lanjutnya, terkadang masyarakat saat ini abai.

“TBC tidak kemudian bicara soal penyakit, maaf yang hanya diderita oleh masyarakat menengah ke bawah. Kelompok masyarakat dari tingkat manapun bisa terdampak, apalagi untuk angka kasus penyebaran dan terdampak, itu dialami kelompok usia produktif, dari umur 25-40 tahun. Bahkan tidak hanya itu, siswa SMA ataupun Mahasiswa juga sama,” ujarnya.

Baca Juga:  Bersama Puskesmas Giligenting, Fatayat NU Giliraja Gelar Sosialisasi Pencegahan Stunting dan TBC

“Karena penyakit TBC ini juga sifatnya kan menular, lewat udara ataupun residu dari batuk itu. Bahkan bicara TBC sebenarnya juga sudah ada sebelum Covid. Covid penerapan meminimalisir penyebarannya kan menerapkan pola hidup PHBS, pakai masker, juga rajin cuci tangan. Jadi tentunya hal ini (kasus TBC) juga sangat penting untuk menjadi perhatian,” imbuhnya.

Dengan adanya sosialisasi kepada relawan ini, katanya, pihaknya berharap adanya getuk tular untuk menyampaikan informasi ke masyarakat secara luas dan masif.

“Juga bagi para relawan yang berkecimpung di wilayah kemanusiaan juga bisa menjaga diri dari penularan penyakitnya. Karena terkadang, untuk meminimalisir penyebaran ataupun dampak dari TBC kemudian dilakukan penanganan. Sampai saat ini masih dibilang terlambat,” ucapnya.

Pasien yang datang untuk berobat dengan kondisi TBC, kata Khamid, biasanya sudah menunjukkan gejala batuk darah, bobot tubuh berkurang, dan bisa dibilang stadium 4.

Baca Juga:  Bersama Puskesmas Giligenting, Fatayat NU Giliraja Gelar Sosialisasi Pencegahan Stunting dan TBC

“Sedangkan saat masih stadium 1 atau mengalami batuk ringan tapi gak sembuh, dari 3 hari atau bahkan seminggu itu masyarakat kita abai. Jadi dengan adanya kegiatan masif sosialisasi dan edukasi, agar nantinya di masa mendatang kita bisa meminimalisir penyebaran virus TBC, juga nantinya dengan target pemerintah pada tahun 2050 Indonesia bebas TBC,” tandasnya.

Terkait kegiatan penyuluhan yang dimaksud itu. Terpisah kata Kepala Bidang Pemerintahan Bakorwil V Provinsi Jawa Timur di Jember Khoirul, sebagai upaya untuk meminimalisir penyebaran penyakit lewat menerapkan PHBS.

“Apalagi bagi kelompok rentan para relawan ini, yang sehari-hari berkutat dengan kegiatan kemanusiaan. Tidak mungkin saat membantu masyarakat, menunjukkan ciri-ciri batuk lama, ternyata mengalami suspect TBC,” kata pria yang akrab disapa Pak Choi ini.

Sehingga dirasa perlu ada kegiatan penyuluhan PHBS, katanya, sebagau langkah antisipasi penyebaran penyakit.

“Apalagi fenomena gunung es dari TBC, yang posisinya saat ini di Jember peringkat dua di Jatim,” ucapnya.

“Dengan kegiatan penyuluhan ini, selaian untuk meminimalisir penyebaran dan jaga diri bagi relawan. Juga getuk tular para relawan sebagai agen memberikan dan memperluas informasi tentang langkah antisipasi TBC dan bagaimana menerapkan PHBS ke masyarakat. Jadi penyebaran penyakit apapun apalagi yang menular dapat dicegah,” imbuhnya. (*)

Tulisan ini berasal dari redaksi

Comment