Puluhan Warga Geruduk DPRD Jember, Wadul Kesulitan Bayar PBB

0 Komentar
Reporter : Nur Imatus Safitri
Foto: Puluhan warga Jalan Mawar, Kecamatan Patrang, Jember, mendatangi gedung wakil rakyat mengadukan persoalan kesulitan membayar PBB.

Foto: Puluhan warga Jalan Mawar, Kecamatan Patrang, Jember, mendatangi gedung wakil rakyat mengadukan persoalan kesulitan membayar PBB.

JEMBER, (WARTA ZONE) – Puluhan warga Jalan Mawar, Kecamatan Patrang, Jember, mendatangi gedung DPRD setempat. Kamis (30/12/2021).

Kedatangannya meminta bantuan para wakil rakyat menyelesaikan persoalan kesulitan membayar PBB (Pajak Bumi dan Bangunan).

Terkait permohonan bantuan itu, pasalnya sebanyak 200 KK di wilayah tersebut. Juga mengaku kaget, saat SPPT PBB kini diambil alih oleh PT. KAI Daop 9 Jember.

Adanya tindakan tersebut diduga karena ratusan warga itu menempati lokasi bangunan rumah yang diklaim menjadi milik PT. KAI.

Terkait aksi menggeruduk gedung legislatif, dilanjutkan dengan kegiatan Rapat Dengar Pendapat (RDP) di ruang Komisi A DPRD Jember.

“Kami sudah menempati rumah di Jalan Mawar itu (Belakang Stasiun Kota Jember) sejak tahun 1935. Kami memiliki PBB, dan tiba-tiba berubah atas nama PT. KAI. Jadi kami menuntut penerbitan SPPT PBB-P2 (Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan/Perkotaan) sesuai nama masing-masing warga,” kata salah satu Perwakilan warga Jalan Mawar, Reta Catur Pristiwantono saat dikonfirmasi, Kamis (30/12/2021).

Baca Juga:  Ibu Kandung Tega Gorok Leher Anak di Jember, Keluarga Yakin Karena Kesurupan

Dari zaman IPEDA (Iuran Pembangunan Daerah) hingga berubah nama menjadi PBB, kata Reta, sudah sesuai nama masing-masing warga.

“Nah sekarang tiba-tiba berubah atas nama PT. KAI,” ucapnya.

“Jadi kita meminta bantuan kepada DPRD Jember untuk menanyakan atau memperjelas posisi pembuatan di Bapenda ini kenapa tidak terima,” sambungnya.

Terkait persoalan PBB tersebut, lanjut Reta, sangat dibutuhkan. Apalagi PBB itu sebagai persyaratan berbagai admistrasi.

Pihaknya mencontohkan, seperti persiapan sekolah ataupun peminjaman modal.

“Dengan adanya PBB itu belum kita terima dan tidak kita miliki, ini warga yang tidak bisa berbuat apa-apa,” ujarnya.

Ditanya terkait perubahan nama menjadi PT. KAI, apakah sudah dilakukan komunikasi sebelumnya.

“Kita tidak komunikasi dengan PT. KAI, karena kita tahu PBB itu yang mengeluarkan dari Bapenda, ternyata dari Bapenda sendiri menyampaikan bahwasanya PBB yang kita miliki sejak berpuluh-puluh tahun itu sudah dialihkan kepada PT. KAI,” paparnya.

“Untuk total semuanya kurang lebih ada 200 KK PBB itu. Tapi kita tidak tahu juga, atas nama siapa belum tahu juga. Namun di situ tertera atas nama PT. KAI untuk pembuatan SHGB, katanya seperti itu,” imbuhnya.

Baca Juga:  Polres Jember Tindak 14 Pemotor Pakai Knalpot Brong

Menanggapi keluhan warga soal PBB tersebut, Ketua Komisi A DPRD Jember Tabroni berjanji akan melakukan kajian.

Pasalnya, belum ditemukan titik temu terkait persoalan perubahan nama pada PBB di Jember. Yang awalnya dari nama masing-masing warga, kemudian berubah menjadi PT. KAI.

“Warga Jalan Mawar ini datang ke DPRD, dalam rangka menyampaikan bahwa mereka selama ini menempati lahan yang mana mereka setiap tahunnya selalu membayar SPPT PBB kepada Bapenda,” kata Tabroni.

Namun pada tahun 2020 dan 2021, mereka tidak bisa membayar SPPT PBB lagi. Karena SPPT PBB mereka sudah diambil oleh PT. KAI.

“Jadi mereka tidak bisa membayar lagi,” sambungnya.

Terkait hal itu, lanjut legislator PDI Perjuangan ini, Bapenda Jember yang lebih tahu persoalannya.

Baca Juga:  Hari Disabilitas Internasional, Difabel Jember Akan Gelar Beragam Kegiatan

“Kami dalam RDP ini, juga mengundang Bapenda, Kabag Hukum, camat, dan Lurah. Untuk melakukan klarifikasi terkait persoalan tersebut. Tadi kami meminta kepada Bapenda untuk menjelaskan, bagaimana prosesnya dan seperti apa. Bagaimana dasar hukumnya,” katanya.

“Tapi tadi diskusi cukup panjang dan alot, karena masing-masing pihak mempunyai presepsi sendiri terkait regulasi dan prosedur hukum itu sendiri. Makanya terkait hearing tadi belum memdapatkan titik temu dan solusi,” sambungnya.

Dengan tidak adanya titik temu, lanjut Tabroni, dimungkinkan dilakukan pemilihan jalan terakhir.

“Yakni kalau di dalam proses keputusan para pejabat itu. Ya lewat pengadilan tata usaha negara. Ada gugatan. Kan kalau urusan Pidana dan Perdata KUHP, pengadilannya,” katanya.

“Tapi kalau keputusan para pejabat negara, bisa digugat masyarakat lewat PTUN itu. Itu jalan terakhir, karena disitu tadi mentok ada perbedaan apa yang dijelaskan dari kasus tersebut,” tandasnya. (*)

Tulisan ini berasal dari redaksi

Comment