JEMBER, (WARTA ZONE) – Tindak kekerasan seksual LGBT rawan terjadi di lingkungan Pondok Pesantren (Ponpes).
Terkait informasi ini, terungkap dalam kegiatan media gathering dan diskusi panel tentang hak kesehatan reproduksi remaja yang digelar lembaga Tanoker dan Power to Youth Rutgers Indonesia (Ruang Temu Generasi Sehat Indonesia), di Hotel Dafam Fortuna, Kabupaten Jember, Jawa Timur.
Menurut CEO Power to Youth Suar (lembaga swadaya masyarakat Suar) Indonesia Muhammad Alfin Mudatsir Nuril Qomari, terungkapnya kasus peredaran narkoba dan kekerasan seksual LGBT di lingkungan Ponpes.
Saat dirinya sedang mendampingi dan menangani kasus kekerasan seksual, yang dialami dua orang korban medio Maret 2022 di dua pondok pesantren di Kabupaten Jember dan Jombang.
Korbannya perempuan berusia 14 tahun dan laki-laki berusia remaja sekolah menengah atas. Mereka mengalami guncangan psikis,” kata Alfin saat dikonfirmasi sejumlah wartawan, Selasa (27/6/2023).
“Terlebih yang laki-laki. Korban ini berasal dari keluarga broken home. Mau mengadu ke orang tua! Orang tuanya bercerai. Pulang kadang ke rumah bapak, kadang ke rumah ibu,” sambungnya.
Sehingga karena persoalan internal itu, lanjut Alfin, si korban tertutup dan enggan mengungkapkan secara terbuka. Sehingga dibutuhkan pendekatan-pendekatan tertentu untuk menangani persoalannya.
Alfin mencontohkan, bentuk kekerasan yang dimaksud bisa berupa cat calling (suara suitan) dari sesama jenis, atau bahkan ke arah hubungan seksual.
“Terjadi bukan hanya laki-laki dengan laki-laki, tapi juga wanita dengan wanita,” ungkapnya.
Namun demikian, kata Alfin, tindakan yang dinilainya agak mencoreng nama lembaga ponpes itu. Tidak serta merta dilakukan oleh pengasuh ponpes, santri, ataupun peragkat lainnya di lingkungan Ponpes.
Tapi pelakunya, adalah oknum yang menggunakan kedok tertentu. “Kekerasan tak hanya dilakukan sesama santri atau santriwati, tapi juga oleh ustaz di luar jam pelajaran. Dalam hal ini oknum. Tidak serta merta semua,” ungkapnya.
Sebagai bentuk tindakan kekerasan seksual yang dimakud. Bahkan untuk memuluskan aksi dari si oknum di lingkungan Ponpes.
Alfin juga mengungkapkan tentang adanya bentuk intimidasi. Jika korbannya adalah santriwati, katanya, ada tindakan intimidasi yang dilakukan. Yakni dengan membujuk santriwati atau korban, dibujuk rayu untuk mau membuka baju dan dipotret.
“Nah potret (hasil foto) itu kemudian menjadi bahan untuk mengancam si santriwati jika mengadu. Sebenarnya saya merinding cerita ini. Saya takut salah juga,” ucapnya.
“Hal ini bukan kemudian (memojokkan) kiai ataupun pesantren yang salah. Tapi orang-orang (oknum) yang tak bertanggung jawab di situ,” ujarnya menegaskan.
Bahkan tidak hanya melibatkan orang di wilayah Ponpes, lebih jauh Alfin mengatakan, jika oknum pelaku juga dari luar.
“Seperti pedagang kaki lima di sekitar pondok pesantren. Ini kayak jadi siklus,” katanya.
Kekerasan seksual di lingkungan pesantren tak lepas dari penyalahgunaan dalil agama oleh oknum. Alfin menilai, dalil-dalil ini perlu didalami sehingga bisa dibantah secara ilmiah.
Pengelola dan pengurus pesantren sebenarnya sudah melakukan pendisplinan terhadap perilaku kekerasan seksual ini. Menurut Alfin, ada hukuman berat yang menanti para pelaku LGBT di pesantren. “Kalau ketahuan pengasuh, bisa diskorsing,” katanya.
Alfin berharap ada upaya yang lebih sistemik untuk menangani persoalan. Dia berharap setiap pondok pesantren membentuk satuan tugas anti-kekerasan seksual. “Teman-teman pesantren menolak LGBT, tapi di pesantren ada LGBT. Cowok suka dengan cowok. Saya sampaikan dampak-dampaknya,” katanya.
Tanpa upaya sistemik, perlindungan dan advokasi terhadapn korban tak akan berjalan maksimal, termasuk melaporkan persoalan kekerasan seksual ini ke polisi. Para korban terlalu takut untuk buka suara, terutama karena mendapat ancaman. Padahal kekerasan seksual tersebut bisa berdampak buruk terhadap masa depan korban.
“Ada korban yang orientasi seksualnya berubah, suka laki-laki dan wanita. Mereka frustrasi. Sampai kapanpun ini jadi pengalaman tak terlupakan,” tandasnya.
Sementara itu, Syamsul Hadi Saputra dari Rumah Pintar dan Forum Anak Desa Karangharjo Silo mengatakan, munculnya penyimpangan ini tak lepas dari mudahnya pendirian pesantren.
“Kalau zaman dulu, pembina pesantren pasti anak kiai. Zaman sekarang, lima tahun lalu, Tommy Soeharto dianugerahi gelar ‘Gus’ di Surabaya. Padahal bukan anak kiai,” katanya.
Pemilik dan pembina pesantren saat ini tak selalu memiliki garis keilmuan agama yang jelas.
“Jadi kalau mau memilih pesantren hari ini, mari memilih pesantren dengan sanad keturunan dan keilmuan yang jelas. Jadi jangan hanya karena melihat papan namanya megah, lalu anak kita pondokkan di sana. Itu pintu masuk penyimpangan. Pesantren yang seperti itu biasanya tidak melapor (ke pemerintah), karena kiainya punya kepentingan,” kata Syamsul. (*)
Comment